Bangun dari lelap lebih awal. Mencari peluang
di tengah sibuknya kamar mandi. Hm, aku harus berangkat ke sekolah pagi ini. Menjalani
hari sebagai seorang guru praktikan. Kusambar jas alamamater yang tergantung,
kutenteng Tochi untuk tetap menemaniku sepanjang hari ini.
Setelah acara penyerahan kepada pihak
madrasah beberapa hari lalu, aku bersama 17 orang temanku resmi menggantikan
jam mengajar para guru pamong untuk dua bulan ke depan. Quran Hadis, Akidah
Akhlak, SKI, Fiqh, itu empat ranah yang kami ampu. Sempat memilih, tapi
akhirnya dengan sedikit keterpaksaan, aku ditakdirkan untuk mengajar mata pelajaran Sejarah Kebudayaan
Islam (SKI).
Waw, agak shock. Kenapa? Dari dulu
tidak pernah menyukai bidang ini. Sangat malas untuk membaca dan menghafal satu
persatu nama tokoh, tahun, kapan kelahiran dan meninggalnya, kejayaan dan
kemundurannya. Huft, sulit. Tetapi saat
ini aku harus melempar jauh-jauh mindset-ku itu. Memaksa diri untuk menyukainya.
Memaksa...
Salah seorang kawan sempat berkata,
“Membaca sejarah itu seperti Ria membaca
cerita kemudian mendongengkannya pada anak-anak. Ada banyak kejadian
menakjubkan di masa lalu, kalo Ria mengamati, Ria pasti bangga menjadi seorang muslim...”
Perkataan itu membuat neuron-neuron di otakku
mengirim sinyal, tanda berpikir. Ditambah lagi setelah browsing web, kesasar,
menemukan kata bijak seperti ini:
“Ketahuilah, bahwa yang terpenting
bukan hanya bagaimana belajar sejarah, melainkan bagaimana belajar dari
sejarah"
Jika belajar
sejarah, mungkin seseorang hanya menghafalkan historis sebuah peristiwa. Namun,
jika belajar dari sejarah, seseorang akan memperoleh hikmah darinya. Meresapi
kearifannya, kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ingat slogan Soekarno, Presiden pertama Republik
ini? Ia menegaskan: Jasmerah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah)
sebab kata Cicero, Historia Vitae Magistra, sejarah adalah guru
kehidupan.
Jombang,
11-01-2012 9:20 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar