Minggu, 31 Agustus 2014

Menjatuhkan Pilihan...

Ketika sudah menjatuhkan pilihan...
Lama saya menunggu hari itu. Menunggu teman baru yang sejak beberapa tahun lalu saya rindukan. Semoga itu kamu, yang akan menjadi teman setia saya mentadabburi ciptaan-Nya. Semoga itu kamu, yang akan membuat segalanya lebih bermakna. 

Sabar ya, teman.. kita ketemu bulan November tahun ini. Bi idznilllah, insya Allah...

-makin malam, postingan makin aneh

Sabtu, 30 Agustus 2014

Abah


Satu waktu...
Aula tengah pondok begitu pikuk dengan manusia. Beberapa menit yang lalu seminar tentang kewirausahaan baru rampung digelar. Panitia yang tergabung dalam Badan Eksekutif Santri sedang sibuk membongkar tatanan dekorasi. Beberapa santri lainnya sibuk ber-selfie ria mengabadikan diri pada momen kegiatan yang sebenarnya sudah berakhir itu. Saya, santri non-panitia berusaha menyingkirkan diri dari keramaiannya. Saya ayunkan langkah menuju ruang koperasi, setidaknya saya bisa istirahat sebentar di sana sembari menunggu panitia selesai membereskan semuanya.

Belum sampai di tempat yang dituju, langkah saya tercekat. Mata saya tak berkedip melihat pemandangan di depan saya. Beberapa meter di depan saya berdiri, saya melihat orang nomor satu di pondok ini tengah bersujud di atas selembar selimut kumal. Selimut yang biasanya digunakan teman-teman untuk alas setrika. Beliau tengah shalat ashar. Tepatnya di lorong depan kamar santri yang kanan kirinya penuh dengan barang-barang perlengkapan seminar tadi. Saya masih memandanginya dengan perasaan penuh haru. Teman-teman berjubel di belakang saya, agak tak percaya dengan apa yang mereka lihat.

"Kok gak kamu kasih sajadah, sih?" kata teman saya.
"Saya gak tahu kapan beliau masuk, tahu-tahu beliau sudah sholat," jawab yang lain.
"Ya Allah....Abah....," sahut yang lain.

Saya hampir menangis ketika itu. Menyadari betapa sederhananya kyai saya yang satu ini. Bahkan untuk hal seistimewa shalat pun beliau tak ingin merepotkan santri yang sebenarnya sangat bersedia untuk direpoti. 

30082014 23.55 WIB
-lahumul fatihah...kangen dawuhipun panjenengan, Abah..

Jumat, 29 Agustus 2014

How Are You?


Sesuatu yang tak logis. Saya pun sakit, jika kamu sakit. Ada kekhawatiran yang luar biasa. Ada rindu yang meledak tiba-tiba. Saya ingin berada di sana, menggenggam tanganmu, dan berkata, "Kamu akan segera pulih. Percayalah..."

-when you sick

Kamis, 28 Agustus 2014

Selasa, 26 Agustus 2014

Re


Saya tahu. Saya bahkan sangat tahu. Bahwa saya sedang tak menjadi diri sendiri. Semua keluh kesah saya atas hidup karena saya tak ikhlas dengan apa yang terjadi. Saya tidak ikhlas diri saya menjadi seperti ini. Saya merasa bersembunyi di balik sebuah potret 'kelaziman' yang dipandang baik oleh kacamata kebanyakan orang.

Saya pun tahu, hal apa yang paling bisa membuat saya berbunga-bunga ketika melakukannya. Sesuatu yang mampu saya berikan secara cuma-cuma pada orang lain tanpa kompensansi apapun. Paling mahal, mereka menukarnya dengan sebentuk senyuman dan ucapan terima kasih. Itu saja, sudah bisa membuat saya bahagia setengah mati. 

Membuang waktu? Tentu tidak. Apa yang telah digariskan-Nya tak pernah ada yang sia-sia. Hanya saja saya masih dalam perjalanan memahami pesan-Nya, yaitu sebuah hikmah yang mengiringi setiap kebijakan-Nya.

Teman, kita punya kepala yang berbeda. Isi otaknya pun berbeda. Kita punya paradigma dan cara masing-masing dalam menjalani hidup yang rumit ini. Tak perlu kesal dengan cara saya yang tak kau sukai. Bukankah kau itu penganut paham pluralis?


Sebuah Profesi


Saya tak pernah melihatmu sebahagia itu, Bunda... 
Dua puluh tiga tahun bersamamu, baru kali itu saya melihatmu tersenyum lepas. Ada luapan syukur yang tak terbatas. Saya pun bahagia. Bukan atas apa yang telah saya dapatkan. Tetapi lebih karena bahagia yang Bunda rasakan.

Bunda, tahukah?
Saya sebenarnya tak ingin seperti ini. Saya tak ingin seterikat ini. Entahlah....engkau boleh mengatakan saya anak yang aneh. Dikala banyak orang mencari-cari apa yang tengah berada dalam genggaman saya, saya justru ingin melepaskannya. 

Bunda...
Cukup lama saya berpikir. Meredam perasaan berontak di hati saya. Apa yang hendak Tuhan sampaikan pada saya melalui garis takdir ini?

Akhirnya saya sampai pada sebuah kesimpulan dari beberapa presmis positif dan negatif saya pada Tuhan. Bunda...saya akan bertahan. Demi sebentuk senyum di wajahmu. Inilah baktiku pada Bunda dan negeri ini...

26082014 17.08 WIB
di gelapnya kamarku

Senin, 25 Agustus 2014

Di Depan Layar


Foto itu diambil ketika Malam Inagurasi Diklat Prajabatan Golongan III lingkup Pemprov Jawa Timur yang digelar di Islamic Center Surabaya pertengahan Juni lalu. Tiga hari sebelum hari pengambilan foto itu, secara mendadak, saya didaulat untuk melantunkan tilawah Al-Quran di upacara pembukaannya. Shock, pastinya!

Old Dream


Poin ketiga pada catatan di malam ke-22 saya...
"Saya ingin memiliki sebuah kamera pocket"

Sudah lewat 63.072.000 detik sejak saya menuliskan ingin itu. Tetapi belum terealisasi. Barang imut itu belum juga saya genggam. Bukan Tuhan yang tidak mendengar, tetapi karena saya lah yang kurang berusaha. Pernah saya mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk itu, tetapi setelah terkumpul saya malah menggunakannya untuk hal lain yang lebih mendesak.

Hmmm....


Rabu, 20 Agustus 2014

Unableness

Petang tadi ponsel saya berdering. Sebuah nama berkedip-kedip di layar, nama yang paling saya ta'dzimi. Ayah. Saya tekan tombol hijau tanpa ragu. Menyambut suara di seberang dengan antusias. Salam saya di balas nada alto. Itu suara Ibu. 

"Tabunganmu ada berapa?" tanya Ibu setelah beberapa menit berbasa-basi. Siang tadi saya mengirim pesan, meminta ayah untuk mentransfer sejumlah uang yang akan saya gunakan untuk membayar biaya kuliah saya.
"Hanya cukup untuk membayar separuh dari SPP saya, Bu,"
"Gimana, ya..." suara Ibu terdengar bingung. Ada jeda di antara ucapan berikutnya. Itu menandakan Ibu tengah bimbang. Saya hafal itu.
"Kenapa, Bu? uangnya gak ada ya?" saya berspekulasi.
"Hmmm.....yak apa, ya.." kalimat itu semakin menunjukkan kebingungannya.
"Ibu gak ada uang, kah?" tanya saya lagi
"Sepertinya tabungan kemarin masih sangat cukup?" ucap saya lagi.
"Hm, sudah habis semua,"
"Lho? kok bisa? di buat apa?" saya kaget sekaligus khawatir. Ibu terdiam sejenak. 
"Ibu buat ngredit rumah di kota. Buat kamu besok-besok,"
Ucapannya membuat saya menarik napas panjang. Saya diam. Memikirkan sisa gaji ayah setelah ini. Saya tidak tega.
"Apa tidak bisa dibatalkan?" kata saya, lirih.
"Tidak bisa. Surat-suratnya sudah dikirimkan, uang mukanya juga sudah dibayarkan dan insyAllah bulan depan gaji Ayah sudah dipotong," 
Saya kembali diam. Ada jarak yang tiba-tiba membuat pembicaraan semakin beku. 
"Kamu gak seneng tah, nak?" tanya Ibu.
Saya masih diam. Ibu memanggil-manggil saya beberapa kali. Saya tak menjawab. 

Minggu, 17 Agustus 2014

Jenuh


Saya sudah mengatakannya. Bahkan berulang kali. Tidakkah kamu mengerti? 

Saya butuh jeda. Membuat hp saya berdering sepanjang waktu bukan pilihan yang bagus untuk membuat saya jatuh cinta. Hal itu justru membuat saya ingin memblokir nomormu. Jenuh. 

Saya butuh ruang untuk diri saya sendiri. Ruang di mana tak ada siapa pun di sana. Hanya saya dan Dia yang tahu. Saya tak mengijinkan siapapun masuk ke sana, termasuk kamu.

Bersabarlah... Karena saya tengah belajar memahamimu. Saya butuh ribuan menit untuk itu. Tak bisa se-instan yang kamu bayangkan. 

Saya juga pernah jatuh cinta, mungkin seperti itu pula lah yang kamu rasa. Tapi...jangan karena cintamu kamu mengabaikan kondisi hati saya.

Sekali lagi, mengertilah........

17082014

Minggu, 10 Agustus 2014

Got Engaged


03.48 WIB
Pagi ini, saya terbangun dengan hati berdebar. Lima jam sebelum kamu kesini saya sudah bedebar sehebat ini. Semakin detiknya berkurang, debaran itu semakin terasa. Pagi ini, di hari ke-163 setelah perjumpaan pertama kita dahulu, kamu akan datang meminang saya. 

Senin, 04 Agustus 2014

Maaf ya, Kak...


Kak, sebesar apapun maaf kudapatkan, tidak akan mampu menyembuhkan luka itu. Sekalipun telah mengering, tetap saja ia akan membekas di sana. Dan setiap kali engkau melihatnya, seketika itu juga kau akan teringat pada sakitnya.

Ini aku kak... Yang egois dan kekanak-kanakan. Egoisku melebihi definisi egois yang kau sandangkan pada dirimu. Memaksamu untuk terus berada di tempat yang sama, tanpa mempedulikan apakah kau masih ingin berada di sana. Menahan langkahmu untuk tak pergi setelah menyakitimu seperti ini.

Kak, jika memang tidak pantas aku menerima maafmu, tak mengapa... Mungkin memang itu balasan untukku. Kau juga tidak perlu berusaha keras untuk melupakan sakit itu. 

04082014 22:31 WIB
Tiga hari ini saya benar-benar kehilangan mood

Aku dan Ibuku


Ibu, apa kabar? Anak sulungmu ini datang menjenguk. Maaf, karena lama tak kemari. Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan baru saya di kota. Belum lagi tugas akhir saya yang harus segera saya rampungkan. Saya merindukanmu, Bu. Apakah Ibu juga merindukan saya? Ah, tak usah saya tanya pun kerinduan itu sudah tampak di binar matamu.

Ibu, saya bawakan sekeranjang buah apel kesukaan Ibu. Sebelum kemari saya mampir di supermarket. Lihatlah Bu, anakmu ini membelinya dengan uang gaji pertamanya. Suka, kah? Lain kali akan saya bawakan yang lebih banyak lagi. Akan saya belikan juga makanan-makanan kesukaan Ibu yang lain. Saya tahu, Bu, sebenarnya bukan hal-hal itu yang Ibu inginkan.

Ibu, apa kabar? Saya datang lagi. Tapi kali ini saya tidak sendiri. Saya bersama seseorang. Iya, dia yang sedang membuka helm itu. Perkenalkan Bu, dia teman kerja saya. Dia bilang ingin bertemu dengan Ibu. Tanyakan saja apa maksudnya datang kemari. Saya pikir Ibu sudah mengerti. Karena sebelumnya saya tak pernah pulang bersama dengan seorang lelaki. Bu, setelah dia pulang nanti, katakan pada saya apa pendapat Ibu tentangnya. Jika Ibu mengijinkan, maka saya akan belajar untuk mulai menyukainya.

Your Grey


Selamat malam, teman...
Ah, bolehkah saya menyebutmu ‘teman’? Mmm...mungkin saja kamu akan mengijinkannya. Kita memang tak dekat. Saya hanya mengenalmu melalui teman saya. Ya, teman saya yang saat ini begitu merindukan surat udara darimu. Saya tidak menyangka dia akan sejatuh itu. Padahal dulunya ia sempat menolak buah apel yang kamu berikan.

Tahukah, teman?
Saya sempat menaruh cemburu yang teramat sangat kepadamu. Saya juga sempat kehilangan mood saya ketika melihat wajahmu. Dan, saya juga pernah menangis karenamu. Tahukah mengapa? Karena ketika itu kamu sedang menyukai teman saya. Sifat manusia saya mengatakan, bisa jadi suatu saat nanti kamu akan pergi membawanya, dan praktis saya pun akan kehilangan dia.

Smile


Jangan tersenyum....
Waktu serasa menahan detakannya
saat kamu tersenyum pada saya
Saya jadi tertunduk
Beristighfar...

30 Juli 2014 13:38 WIB


Proposal Kedua


Tuhanku...
Terima kasih telah membaca proposal yang sejak beberapa tahun lalu kuajukan kepada-Mu. Aku tahu janji-Mu adalah benar. Ud’uuny fastajib lakum. Karena itulah aku tak pernah berhenti merangkai pintaku pada-Mu.

Tuhanku...
Hari itu Kau memenuhinya. Mengabulkan doa-doa yang pernah kulayangkan pada-Mu. Menghadirkan dia yang kini terseyum lepas di hadapanku. Yang tanpa ragu memberikan segenap percayanya kepadaku.

Tuhanku...
Dia itu...seperti apa yang sering kusebut dalam doa-doaku dahulu. Dia yang begitu mencintai-Mu, dan juga mencintai Kekasih-Mu. Dia seorang pekerja keras dengan mimpi-mimpi hidup yang luar biasa. Dia analis, pemikir kritis, dan pencetus ide-ide unik yang kadang juga aneh. Dia...sosok 95% dalam proposal jodohku.

Tuhanku...
Suatu saat nanti...aku ingin dapat berjalan beriringan dengannya dan mengamit lengannya. Kelak, aku ingin anak-anakku memanggilnya dengan sebutan ayah. Dan, Tuhan...kuharap tak hanya di kehidupan fana ini, tetapi hingga dapat berjumpa dan memandang wajah-Mu di sana.

Tuhanku...
Uraikanlah Kun-Mu...


3 Syawal 1345 H / 30 Juli 2014 12:57 WIB